Asal Usul Topeng Malangan
Foto: Topeng Malangan (Kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Topeng Malangan diketahui sudah ada sejak zaman Kerajaan Kanjuruhan pada abad ke-8 Masehi, yang dipimpin oleh Raja Gajayana.
Raja Gajayana diketahui juga mahir menarikan tarian Topeng.
Mulanya, cerita dalam topeng wayangan ini bersifat sakral karena memuat kisah religi pewayangan India, seperti Ramayana dan Mahabarata.
Namun, sejak pemerintahan Raja Erlangga, kesenian topeng menjadi kebudayaan dan dilestarikan, bahkan hanya sebagai seni tari saja.
Topeng kemudian difungsikan sebagai alat pendukung penari agar tidak perlu lagi menggunakan riasan.
Malang-style masks as inspiration for batik
The eight characters of Topeng Malangan are depicted into batik motifs.
As I observed, the characters depicted on the masks add to the attractiveness of the batik Malangan motifs. Several notable characters that can be seen in the batik patterns include the Panji Asmorobangun figure with his slanted eyes and downward pointed nose, the Klono Dewandono figure with his round eyes and long nose, and the princess character with her oblique eyes, Dewi Sekartaji, pointed nose and white-painted face. Other characters are shown in the batik Malangan pattern, inspired by the wooden masks. Sometimes, these characters are combined with other Malang icons to create a more distinctive design.
One interesting fact about the batik Topeng Malangan is that some are produced by batik artisans with disabilities in Malang’s Klojen Regency. They are based at Tithiek Tenger Foundation, where the foundation advances people with disabilities into active communities with an entrepreneurial approach. With great detail and diligence, these batik artisans with disabilities hand-made the batik cloth, and their graceful flair in creating the designs somehow concealed their disabilities. Like average batik artisans, they follow the process of batik making, including designing the patterns, mencanting (hand-drawn way using canting, a traditional pen-like tool used to apply liquid hot wax on cloths), mencolet (dabbing the patterns with colors using a paintbrush), and submerging the finished batik cloths in boiling water to remove the wax. The batik artisans at the foundation with different types of disabilities, such as hearing impairment, speech disability, autism, and mental disability. Despite their shortcomings, the beautiful batik cloths they created are popular as souvenirs from Malang.
The local government and members of the academic profession continuously cultivate this batik technique. These include Janet Teowarang and her team at Universitas Ciputra Surabaya. Janet Teowarang, one of the Indonesian fashion designers and lecturers, initially introduced the batik process development technique to Malang’s batik artisans with disabilities, which later developed and refined the method. She introduced fashion sustainability practices, using natural dyes and improving batik Topeng Malangan’s patterns. For Janet, this community service program is managed in stages starting in February 2023; later, the program will be followed by another training focusing on using natural dyes and developing batik motif patterns from Topeng Malangan motifs, which is planned to be conducted in the mid-of year 2024.
Janet’s noble cause is to ensure gender equality between male and female batik artisans. She wishes to eliminate the notions that batik artisans have to be female, or that the enchanting process done by female artisans will yield better quality and more beautiful designs, and also that men can only do the process of submerging the cloths in boiling water because of the high heat involved. Janet also aims to promote disability inclusion in her program. Her two objectives, as mentioned above, are based on UNESCO’s Sustainable Development Goals (SDGs), which have been declared by the Indonesian government since 2019. All of these activities, in my opinion, align with the SDGs, including Gender Equality, Decent Work and Economic Growth, Reduced Inequalities, Sustainable Cities and Communities, Responsible Consumption and Production, and Partnerships for the Goals
First, the principles of Gender Equality, Decent Work and Economic Growth, and Reduced Inequalities are evident in this Cultural Centre; both male and female batik artisans with disabilities at this foundation have the same working opportunities.
The second principle is improving Economic Growth. Today the business has been proven to support the development of Malang’s creative industry. The betterment of this fashion industry has added to the overall regional income of the area. Including many modifiable workers in the center, the Reduced Inequalities point on the SDGs list can be ticked off.
The third is the points of Sustainable Cities and Communities, Responsible Consumption, and Production. These principles demand that materials for the batik cloths come from natural resources, which will not harm the environment because some factory-made artificial dyes can be detrimental to the natural world. We often see existing batik industries use synthetic dyes, meaning their waste products must be processed before disposal.
Finally, the Partnerships for the Goals point. Completing this training process means a long-term partnership to improve the quality of the fabrics produced by the artisans and the quality of life of the batik artisans with disabilities who partake in the industry.
Yet this noble effort should continue further. Instead of only introducing a sustainable process for batik artisans, there are other means that we can pursue so that these artists can find a fitting market for their products. Our next assignment would ensure that in the current globalization era and fast-changing world, local fashion scenes, including the batik Topeng Malangan, would find their place amongst today’s youth and could be enjoyed by the younger generation. As we know, young Indonesians are more commonly drawn to fashion trends influenced by foreign countries. If action is taken to preserve it, batik, one of the indigenous textiles in Indonesia, will be remembered and included in the advances of the modern fashion scene.
One of the ways that we, as the country’s younger generation, can do to ensure the continuation and preservation of batik as the cultural heritage of Indonesia is to advocate the use of batik in our daily lives. As a prominent part of Indonesia, young people shall start wearing batik for all occasions, including at school, at home, and in their leisure time, as an expression of national pride. In addition, the batik artisans with disabilities of Topeng Malangan should also be well-informed and up-to-date about the latest fashion trends to comply with the market demands. I believe when this is achieved, market demands are met and the batik-making process follows the correct sustainable means, we can hope that the heritage value of batik as a tangible asset, as well as its moral value as an intangible asset, can be well-preserved for many years to come.
The batik artisans with disabilities are at their workshop at Bareng Public Market in Malang, East Java, Indonesia.
Sekilas tentang Tari Topeng Malangan
Sesuai namanya, tari topeng Malangan merupakan salah satu kesenian asal Malang yang mengharuskan penarinya memakai topeng.
Ciri khas tarian ini terletak pada pahatan karakter wajahnya yang tampak lebih nyata. Warna topeng tarian ini pun lebih beragam dari daerah lain, yaitu merah, putih, kuning, hijau dan hitam.
Masing-masing warna memiliki arti tersendiri, yang secara berurutan melambangkan:
Selain memiliki beragam warna, tari topeng Malangan juga menjadi perlambang sifat manusia.
Banyaknya karakter topeng pada tarian ini bisa menggambarkan berbagai situasi berbeda, termasuk tangis, tawa, sedih, malu dan lainnya.
Secara keseluruhan, tari topeng Malangan memiliki sekitar 76 karakter tokoh. Namun, yang paling menonjol adalah enam tokoh berikut ini:
Dalam pelaksanaannya, tari topeng Malangan dilakukan secara berkelompok oleh para penari yang sudah terlatih.
Salah satu gerakan khasnya adalah tanjak, yaitu kaki terbuka lebar dengan jarak sekitar tiga telapak dan posisi kaki menghadap ke arah samping kanan dan kiri.
Selain gerakan kaki, para penari juga perlu menggerakkan bagian tubuh lain, mulai dari kepala, tangan, badan, hingga kaki sesuai dengan cerita yang dibawakan.
Selain menggunakan topeng dengan berbagai karakter, penari juga mengenakan:
Baca Juga: Selain Alun-Alun Malang, Jangan Lewatkan 7 Destinasi Wisata Murah Meriah di Malang Berikut!
Karakter Masing-Masing Topeng Malangan
Seni yang berkembang sejak jaman Hindu-Buddha ini, memiliki sekitar 76 karakter tokoh, lho Moms.
Dari ke-76 karakter tokoh itu, terdapat tujuh karakter yang paling menonjol yaitu:
Mengintip Pembuatan Topeng Malangan
Hasan Al Habshy - detikNews
Rabu, 23 Nov 2016 08:49 WIB
Jakarta - Padepokan Asmoro Bangun terus melestarikan budaya Topeng Malangan. Selain memberikan pelatihan tari, padepokan itu juga memproduksi topeng tersebut.
Malang memiliki banyak julukan, mulai dari kota pendidikan, kota wisata, kota dingin, kota militer, kota apel, hingga kota bunga.
Namun, selain aspek-aspek tersebut, kesenian dan kebudayaan Malang juga tak kalah unik dan menarik. Salah satu yang paling populer adalah tari topeng Malangan.
Sudah ada sejak zaman kerajaan, berikut ini adalah asal usul, makna, dan properti yang digunakan dalam tari topeng Malangan.
Lepas Lelahmu di Bobocabin Coban Rondo
Kawasan Malang terkenal dengan wisata alamnya yang memukau, seperti wisata air terjun Coban Rondo yang legendaris dan menyuguhkan panorama alam memukau.
Agar lebih puas dan maksimal dalam mengeksplorasi tempat wisata ini, menginap di sekitar area wisata bisa menjadi pilihan yang tepat.
Bingung dengan opsi akomodasinya? Serahkan saja pada Bobocabin Coban Rondo.
Berlokasi di kawasan wisata Coban Rondo, akomodasi satu ini menawarkan kenyamanan kabin modern dengan kesegaran gemericik air terjun Coban Rondo dalam jangkauan.
Ada dua jenis cabin yang bisa kamu pilih, yaitu deluxe dan family yang dilengkapi kamar mandi dalam dan fasilitas khas Bobocabin lain, seperti Wi-Fi, Smart Window, dan B-Pad.
Untuk menambah keseruan selama menginap, Bobocabin juga memiliki fasilitas api unggun, peralatan BBQ, serta hiburan berupa board games dan proyektor film.
Reservasi dan informasi lebih lanjut bisa kamu dapatkan lewat aplikasi Bobobox di Play Store atau App Store.
Foto utama oleh: Muhammad Adin Samudro via Unsplash
Original file (4,782 × 3,188 pixels, file size: 10.36 MB, MIME type: image/jpeg)
The batik artisans are painting the cloth with paint brush as part of batik dyeing process (mencolet). The batik motif is Ken Dedes, the first queen of Singhasari (the Kingdom of Tumapel) now known as district of Malang Regency located several kilometers north of Malang City.
Astrid Kusumowidagdo writes about innovative and socially aware Topeng Malangan batik production, guided by Janet Teowarang.
Indonesia is famously known as the producer of various batik textiles as one of its indigenous heritage products. Having lived in Indonesia all my life, I have a keen interest in batik. One of the Indonesian batik creations that has gained popularity among collectors today is batik Malang. Malang is located in East Java Province, a city that boasts a lot of creative industry riches, a mere 2-hour drive from Surabaya, the province’s capital city. Many businesses are based in the town, and some have gained quite a prominent growth, including the textile and batik industry. Batik cloths produced in Malang are aptly called batik Malangan. They are characterized by the patterns depicting Topeng Malang (Malang-style masks), Tugu Malang (the Statue of Malang), lions, and lotus flowers. The city of Malang can take pride in being the birthplace of this distinctive artwork, which later becomes the inspiration behind batik Malangan’s unique motifs.
Pewarisan Topeng Malangan
Foto: Topeng Malangan (kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Karimoen atau Mbah Mun adalah maestro topeng Malang yang dihormati karena dedikasinya dalam melestarikan kesenian topeng Malang melalui Sanggar Asmorobangun di Dusun Kedungmonggo.
Setelah beliau wafat, ketokohannya diteruskan oleh Suroso dan Tri Handoyo.
Topeng Malang tidak hanya berfungsi sebagai sarana ritual tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan sosial, serta menjadi identitas masyarakat Kedungmonggo.
Sanggar ini tetap aktif, dengan pertunjukan rutin dan produksi topeng untuk berbagai keperluan, termasuk suvenir.
Panji Asmoro Bangun
Foto: Panji Asmoro Bangun (Id.museum-digital.org)
Panji Asmoro Bangun adalah tokoh protagonis dalam cerita, yang memainkan peran sentral untuk mengatur perkembangan konflik dalam narasi.
Panji Asmoro Bangun ini biasanya diceritakan sebagai pangeran yang gagah berani, romantis, dan memiliki banyak petualangan demi mencari cinta sejatinya, Dewi Sekartaji.
Wajahnya dihiasi dengan warna hijau sebagai cerminan karakternya yang baik hati.
Sifat-sifat jujur, sabar, gesit, dan kepahlawanan tercermin dari matanya yang berbentuk bulir padi.
Bibirnya yang sedikit terbuka menggambarkan sifat lembut dan budi luhurnya.
Titik emas yang terletak di antara alisnya menjadi tanda bahwa ia merupakan keturunan dewa.
Alisnya berbentuk nanggal sepisan, hidungnya mancung, dan bahkan terdapat kumis, menambahkan keanggunan dan keperkasaan pada penampilannya.
Foto: Dewi Sekartaji (Seni.id)
Dewi Sekartaji digambarkan sebagai seorang putri yang cantik jelita dari kerajaan Daha (Kediri).
Dalam beberapa versi cerita, ia terpisah dari kekasihnya, Panji, karena berbagai konflik atau kesalahpahaman.
Kisah mereka berisi petualangan, penyamaran, serta rintangan demi rintangan yang harus mereka hadapi sebelum akhirnya bersatu kembali.
Sama seperti Raden Panji Asmoro Bangun, topeng malangan Dewi Sekartaji memiliki ciri-ciri wajah yang khas.
Alisnya berbentuk nanggal sepisan, hidungnya mancung, dan terdapat titik emas di antara alisnya.
Wajahnya yang berwarna putih melambangkan kemurnian, kelembutan, dan kebaikan hatinya.
Baca Juga: 8 Ragam Pakaian Adat Riau dan Keunikannya, Elegan dan Bersahaja
Foto: Topeng Malangan Gunungsari (tjokrosuharto.com)
Topeng Gunungsari diidentifikasikan dengan mata sipit, hidung mancung kebawah, bibir tipis dan berwarna putih.
Mengutip web Kemdikbud, karakter Gunungsari ini rendah hati, lembut dan agak feminim.
Gerakan tariannya juga anggun dan mencerminkan karakteristik sosok wanita idaman pada masa itu.
Dalam beberapa pertunjukan, karakter ini mungkin diperankan sebagai seorang putri atau wanita bangsawan.
Foto: Dewi Ragil Kuning (Lazada.co.id)
Dewi Ragil Kuning adalah putri dari Prabu Tapa Agung, raja dari Kerajaan Daha Kediri, dan ia merupakan adik dari Dewi Sekartaji.
Ragil Kuning dikenal sebagai putri yang cantik jelita dan memiliki sifat yang lembut, baik hati, tegas, dan pemberani.
Topeng malangan Dewi Ragil Kuning, memiliki mata sipit, hidung mancung, gigi tidak tampak, dan berwarna kuning.
Klana Sewandana digambarkan sebagai raja yang gagah, perkasa, namun memiliki sifat kasar dan sering...
Asal Usul Tari Topeng Malangan
Meski tidak banyak referensi dan catatan yang pasti, asal usul tari topeng Malangan tetap menjadi salah satu hal yang menarik dibahas.
Asal usul tari topeng Malangan tidak lepas dari sejarah topeng itu sendiri.
Dilansir dari situs resmi Kemdikbud, salah satu catatan sejarah menyebutkan bahwa topeng sudah dikenal sejak zaman Raja Gajayana (berkuasa sekitar tahun 760-789) dari Kerajaan Kanjuruhan.
Di masa itu, topeng pertama terbuat dari bahan emas dan dikenal dengan istilah “Puspo Sariro” yang artinya ‘bunga dari hati paling dalam’.
Topeng di masa itu termasuk dalam bagian tradisi kultural dan religius. Raja Gajayana menggunakannya sebagai simbol pemujaan terhadap sang ayah yang bernama Dewa Singha.
Oleh karena itu, tidak sedikit yang berpendapat bahwa asal usul tari topeng Malangan erat kaitannya dengan masa kejayaan Raja Gajayana.
Tarian tersebut pun diyakini sudah sering dibawakan di masa kerajaan tersebut.
Namun, sumber lain menyebutkan bahwa tari topeng Malangan diciptakan oleh raja pertama Kerajaan Panjalu (Kediri) bernama Airlangga yang menjabat pada 1019-1042.
Dikutip dari artikel jurnal “Tari Topeng Malangan sebagai Alternatif Wisata Budaya di Kota Malang” oleh Melany, penyebaran seni topeng kemudian terus berkembang hingga Kerajaan Singosari, yang didirikan oleh Ken Arok pada 1222 M.
Di masa itu, Raja Singosari menggunakan tari topeng Malangan untuk upacara adat, dengan mengusung setting drama tari dari kisah Ramayana, Mahabharata, dan Panji.
Selain itu, tari topeng juga menjadi sarana penyambutan dan penghormatan tamu dalam acara-acara resmi pemerintah.
Kanjuruhan Hingga Majapahit
Berdasarkan informasi dari buku Maestro Seni Tradisi (2008), topeng di masa Kerajaan Kanjuruhan berfungsi sebagai sarana untuk ritual.
Memasuki masa Kerajaan Kediri, topeng tidak lagi terbuat dari emas, tetapi dari kayu, dan berfungsi sebagai properti tarian agar penari tidak perlu menggunakan riasan.
Tari topeng ini digunakan untuk menyambut tamu dengan cerita Ramayana atau Mahabarata.
Penggunaan Ramayana dan Mahabarata ini kemungkinan berkaitan dengan asimilasi budaya India dan Jawa di masa lalu.
Selanjutnya, di masa Kerajaan Singosari, fungsi topeng masih sama. Namun, dari segi cerita, ada tambahan penggunaan cerita Panji dan hal ini berlangsung hingga Kerajaan Majapahit.
Cerita Panji sendiri mengacu pada kumpulan cerita dari periode Jawa klasik, yaitu di masa Kerajaan Kediri (1042-1222).
Isi ceritanya berkaitan dengan kepahlawanan dan kisah cinta antara dua sejoli: Raden Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana).
Lalu, setelah masuknya Islam ke Tanah Jawa, para Wali Songo, khususnya Sunan Bonang dan Kalijaga, menjadikan topeng sebagai sarana penyebaran ajaran Islam.
Sepeninggal para Sunan, keberadaan tari topeng seolah tenggelam. Namun, kesenian ini kembali bangkit di tangan Surya Atmojo, abdi dalem Keraton Majapahit yang mengungsi ke daerah Malang.
Saat itu, ia membawa serta topeng serta keterampilan menarinya. Ia lalu mengabdi pada bupati pertama Kabupaten Malang sebagai Mantri Agung/Asisten Bupati.
Sang Bupati rupanya tertarik dengan keahlian tari topeng Surya Atmojo, hingga akhirnya menetapkan kesenian tersebut sebagai tarian khas Malang.
Tari topeng Malangan pun tidak lagi digunakan untuk sarana penyebaran Islam, tetapi menjadi sarana hiburan yang mengangkat cerita Panji.
Baca Juga: Mau Liburan ke Malang? Jangan Lewatkan Tujuan Hits Lembah Indah Malang!